Nona dari Watohari

- Minggu, 20 November 2022 | 20:27 WIB
Ilustrasi Perempuan (Pixabay)
Ilustrasi Perempuan (Pixabay)

OLEH: Syarwan Edy

Awan bergulung bergerak di langit luas, membuai angan. Angin bertiup perlahan, tanpa kata dalam diam. Dari ranting bidara, rindu menggantung harapan lebih tabah dari hujan.

Pada senja yang temaram, bayangmu kerap hadir dan diserap akar pohon lontar. Resah dalam hatiku selalu menggebu isyarat rindu gerimis di bulan November.

Sementara, rindu tak lekang oleh waktu ataupun ia menua dalam bahasa sejuk tanpa rasa iba dalam dada membasuh tanah. Indah terukir dalam ingatan, menghapus memori usang.

Tiba-tiba ada seorang perempuan seusia senja menghampiriku dan memanggilku. Hari itu, tepatnya hari jumat sore ketika aku selesai merayakan temu kangen dengan teman-teman.

Dan perempuan ini masih kukenal setengah-setengah. Hehe. Dia sederhana tapi begitu istimewa. Dari dia, aku menemukan kembali arti 'bahagia.' Disaat-saat rapuh sekalipun. Dan tempat pelarian dari gelapnya dunia ataupun gelak tawa penuh rintihan setiap yang datang.

"Hay tunggu sebentar, kamu Paji kan?" teriakannya manja memanggilku, dan akupun berhenti dan melihat ke arahnya.

"Iya kenapa? Benar, aku Paji. Eh tunggu, kamu inikan Senjani! Ucapku kembali," sesekali gelagatmu mengusik hayalku.

Baca Juga: Surga yang Singgah di Kapela

Mata merekah ketika senyum tipisnya terantuk di antara penggalan desir ombak sawu. Rona semesta menilik syahdu pada barisan kata-katanya yang menenggelamkan.

Senandung doa menumpahkan diksi dengan harapan penuh tiap kedipannya. Hingga waktu itu tiba, semoga menyatukan asa serta mengguyur raga langkah demi langkah, tapak demi tapak hingga lekas, membekas.

Di ujung perbincangan dia berucap, "Sehat-sehat yah, semoga kita bisa bertemu lagi tuk memecahkan celengan rindu." Tawanya sayu pada semilir hening.

Kuterdiam sejenak, lalu mengeluarkan suara, "Kamu juga yah, semoga hal yang telah direncanakan cepat terkabulkan."

Dan sebelum beranjak, aku memberanikan diri berbisik, "Rindu tidak bisa diatur, ia meniti setiap detik." Akhirnya aku dan dia saling pulang ke rumah masing-masing memeluk keraguan tiap laman cerita tentang duka, derita mendenyutkan pedih, perih.

Halaman:

Editor: Yon Sahaja

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Aku dan Takdir Allah

Sabtu, 25 Februari 2023 | 15:39 WIB

Sabar di Balik Sajadah

Sabtu, 18 Februari 2023 | 19:19 WIB

Seruan Malam, Puisi-puisi Edu Butty

Jumat, 10 Februari 2023 | 07:58 WIB

Pulang Kampung dan Puisi Lainnya

Selasa, 10 Januari 2023 | 17:35 WIB

Claudia dan Amore Sincero

Rabu, 21 Desember 2022 | 18:55 WIB

Puisi-puisi Indra Gamur, Tanpa Aba-aba

Sabtu, 17 Desember 2022 | 21:47 WIB

Puisi-puisi Andju Haman, Penyairku Sedang Gundah

Sabtu, 17 Desember 2022 | 20:29 WIB

Halaman Rumput Masa Depan

Selasa, 13 Desember 2022 | 05:43 WIB

Di Rumah Impianmu Saya Menunggu dan Menulis Puisi

Selasa, 13 Desember 2022 | 05:32 WIB

30 Tahun Berlalu, Mengenang Bencana di Flores

Senin, 12 Desember 2022 | 11:38 WIB

Pada Tumpukan Kitab Tuhan Aku Meminta Restu

Minggu, 4 Desember 2022 | 14:48 WIB

Malam Terakhir

Selasa, 29 November 2022 | 13:36 WIB

Kaka Brasil, Kalau Ade Dukung Siapa?

Kamis, 24 November 2022 | 20:21 WIB

Gadis Desa, Aku Jatuh Cinta

Rabu, 23 November 2022 | 15:07 WIB

Ingat Ema, Puisi-puisi Hendra Uran

Senin, 21 November 2022 | 08:51 WIB

Nona dari Watohari

Minggu, 20 November 2022 | 20:27 WIB

Puisi-puisi Onsi GN

Sabtu, 19 November 2022 | 20:45 WIB

Surga yang Singgah di Kapela

Sabtu, 19 November 2022 | 20:00 WIB
X