Pagi itu, seperti biasa kugenggam peralatan tempurku dan berjalan ke kebun. Sebilah parang yang biasa kupakai menebas apa saja yang mengganggu tanamanku seperti menempel di tangan kiriku. Kebunku cukup jauh dari area permukiman warga dan mesti melewati rimba. Sepanjang perjalanan dalam rimba, aku melihat dua ekor burung terbang ke sana kemari sambil terus berkicau.
Dengan pengalamanku yang adalah petani dan ajaran beberapa tetangga yang adalah pemburu, aku langsung paham. Burung-burung itu sedang mengajari anak-anak mereka terbang. Mataku seperti langsung diprogram otomatis untuk melihat lebih jauh ke dalam semak belukar. Anak-anak burung yang baru belajar terbang tidak akan terbang di pohon-pohon yang tinggi, mereka akan terbang rendah.
Anehnya, tak kutemukan Satu pun anak burung. Dua ekor burung yang terus berkicau itu tak kunjung menjauh. Aku tak mungkin salah, pasti ada sesuatu yang sedang terjadi. Aku memutuskan untuk masuk ke semak itu. Awalnya aku sedikit ragu, aku tak beralas kaki.
Selain itu, hutan ini meski hanya berjarak sekilo dari perumahan warga, banyak sekali binatang liar. Tapi rasa penasaran membuatku memantapkan diri melangkah masuk. Dengan parang di tangan yang mulai siaga, kumasuki semak itu dengan hati-hati.
Baru beberapa langkah, aku mengerang kesakitan dan secara spontan memaki "asu". Kakiku seperti ngilu. Dengan refleks, menggunakan siku, aku bersandar ke sebatang pohon jambu dan tangan kananku memeriksa. Sialnya, serpihan kayu jambu kering yang padanya aku bersender, menembus daging telapak kakiku sesenti. Dengan cepat kucabut. Darah segar keluar dari bekas tancapannya beberapa tetes. Rasanya pagi ini sangat mengerikan.
Baca Juga :Bagaimana Luka Bisa Dieja?
Aku memang sudah terbiasa dengan luka. Namun luka-luka yang kudapat biasanya saat bekerja di kebun atau mencari kayu bakar di hutan di sebelah kebunku. Luka yang kudapati pagi ini adalah luka yang tak biasa. Rasa penasaranku nyatanya mengalahkan pertimbangan untung rugi itu. Ditambah, dua ekor burung di atas semakin kencang berkicau dan terbang seperti burung kesurupan.
Langkah kakiku semakin mantap masuk ke dalam. Dengan sedikit terpincang aku terus menerobos. Kali ini, aku semakin hati-hati memijakkan kaki ke tanah. Baru beberapa meter ke dalam, hidungku mencium bau tak sedap. Ah, sialan. Aku tahu ini bau apa. Seluruh indra di tubuhku sontak memasang mode bertahan.
Mataku semakin mawas, kulitku jadi semakin sensitif dengan sentuhan dari apa saja di sekelilingku dan telingaku semakin fokus mendengar suara-suara mencurigakan. Ini pasti bau amis dari kulit ular. Bulu badanku tiba-tiba merinding membayangkan lentur dan licinnya badan ular.
Artikel Terkait
Jangan Jadi Aku
Ibu, Sebuah Puisi
Hamil di Luar Nikah: Bukan Kutuk tetapi Berkat
OJK Melalui KOINKU 2022 Kembali Adakan Perlombaan Menulis Berhadiah Puluhan Juta Rupiah
Lomba Cipta Puisi Grup Facebook HPI 2022 Total Hadiah 12,5 Juta
Perempuan yang Harus Pergi Malam Ini
Perihal Pastor Tua dan Mimbar Kesayangannya
Info Lomba Gratis!! Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Nasional Tema Cinta, Hadiahnya Jutaan
Bagaimana Luka Bisa Dieja?
Nyanyian Kematian_Cerpen Nino Eni