Oleh: WALDUS BUDIMAN
“Aku melihat dengan mataku sendiri. Dia sudah mengandung anak dari mantannya.”
Sepotong kalimat ini pernah dimuat pada story WhatsApp-nya. Waktu itu tepat dua tahun mereka menjalin kasih jarak jauh (LDR). Suatu perjuangan yang berat.
Anji tahu itu. Berkorban adalah pilihan yang menjadi keputusannya. Berkorban dalam bentuk apa saja, terutama mengenai pertemuan yang terus menghantui pikirannya. Berbagai imajinasi liar tentang pertemuan terus menggelora membakar pikiran. Dan itu semua hanya fiksi.
Anji pernah menulis demikian, “Jika memang aku ditakdirkan untuk bersamanya, maka tidaklah sia-sia kami terkungkung dalam rindu. Dan itu semua akan aku ceritakan kepada anak dan cucuku nanti”.
Memang cinta LDR hanya sebatas khayalan semata, tapi bukan berarti semua mereka yang LDR demikian. Barangkali, bagi mereka yang mencapai pelaminan akan bersorak riang. Tapi tidak berlaku bagi Anji. Seorang pemuda dengan gelar sarjana filsafat, predikat cum laude, ternyata tidak demikian dalam menjalin asmara.
Memang benar, filsafat membantu kita untuk berpikir kritis mengenai situasi sekitar kita, apa pun itu, mungkin juga tentang asmara. Tapi Anji sudah mencap dirinya sebagai seorang pemuda yang gagal dalam dunia asmara.
“Aku pemuda yang jalang di antara yang malang. Aku pemuda yang merana di antara makhluk yang paling fana. Aku gagal menjadi aku oleh kebutaanku pada asmara. Biarkan itu menjadi dosaku.” Tulis Anji pada diary-nya.
Anji berkomitmen untuk menghapuskan segala kenangan, apa saja, khususnya dengan Veve.
Artikel Terkait
Air Mata Mama, Catatan di Ujung Pena
Pada Lukamu yang Sunyi
Eloi, Puisi-puisi Arnoldus Aliando
Tentang Mama Tak Pernah Usai dan Selesai
Perempuan yang Terluka Berkalung Beban
Enu dan Nana yang Berjubah