Catatan di Ujung Pena
Pada Minggu waktu itu. Pagi-pagi buta suara ayam berkokok membangunkan dirinya yang sedang berkencan dengan mimpi asmara. Suara lonceng Gereja berdentang membangkitkan gelora hati untuk melangkahkan Kaki. Dengan pelan Ia bangkit lalu mendaraskan doa pagi di kamarnya yang sepi dan bersiap diri untuk ke Gereja.
Namanya Ewin, seorang Frater ganteng yang sedang melaksanakan live in di Paroki.
Berperawakan tinggi, kulitnya yang putih dan hidungnya yang mancung sangat cocok dengan sifat keramahtamahan.
Hari Minggu kali ini berbeda dengan hari minggu yang lainnya. Selain karena kejadian semalam juga karena hari itu adalah saat-saat terakhir ia melaksanakan kegiatan live in dan Minggu depan ia harus kembali lagi ke komunitasnya di Kota.
Sudah siap tinggal jalan, tiba-tiba bahunya ditepuk oleh tangan seseorang.
"Hallo Nana" Sapa suara itu.
"Hallo Mama" balasnya. Ternyata yang menepuk bahunya adalah Maci.
Maci adalah singkatan dari Mama Cing.
Maci telah lama bertugas di Paroki, untuk membantu Pastor dalam hal memasak, dan baru kali ini ia akan merasakan bagaimana pahitnya kehilangan sebab Ewin sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri, tiga bulan rasanya berat.
Ia hampir saja menangis tetapi karena Ia takut jika Ewin ikutan menangis maka berusaha menahan air matanya meski akhirnya ia menangis juga.
Ia dengan penuh kasih memeluk Ewin sambil mengucapkan kata Terima Kasih dan Maaf.
"Nana e, Terima Kasih banyak e. Maci bahagia sekali karena Nana sudah bersedia membantu Maci di sini. Ini ada sedikit yang Maci punya, pokoknya Nana bawa ini sebagai bekal. Ingat e, Jangan lupa nanti libur kesini lagi" sambil menyodorkan amplop kecil untuknya. Ia tidak bisa menjawab tetapi hanya bisa menangis dan mengucapkan."
"Ma. Terima Kasih".
Gereja sudah mulai ramai. Banyak orang yang datang berdoa dan juga karena hari ini adalah hari perpisahan bersama Frater Ewin. Ia berjalan bersama Maci ke Gereja.
Misa dimulai dengan begitu meriah, lalu berakhir dengan haru. Frater Ewin diminta untuk mengucapkan kata-kata singkat sebelum ia meninggalkan Paroki. Awalnya ada banyak yang tertawa karena lawakan Frater, tetapi perlahan suasana menjadi hening.
Tidak ada suara dan hanya ada air mata. Umat Paroki sangat menyayangi Frater Ewin.
Artikel Terkait
Menemukanmu setelah Perayaan Ekaristi
Air Mata Mama, Catatan di Ujung Pena
Pada Lukamu yang Sunyi
Eloi, Puisi-puisi Arnoldus Aliando
Tentang Mama Tak Pernah Usai dan Selesai
Perempuan yang Terluka Berkalung Beban