(Lantas apa yang mesti disalahkan? Apa iya ketika seseorang dilahirkan ke dunia tanpa sosok seorang Ayah, akan menjadi seseorang yang hina dan dianggap sebagai sumber malapetaka. Tentu tidak. Kehadirannya justru tidak akan memperkeruh suasana, tetapi akan membawa bahagia. Jika orang menganggap aku hina aku tak peduli akan itu!)
****
Aku Ari seorang siswa kelas dua belas. Baru saja aku menyelesaikan ujian akhir dengan predikat terbaik. Ia juga mendapat sebuah penghargaan dan hadiah berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikan atau Kuliah di Perguruan Tinggi di Ibukota negara. Seorang gadis desa yang lugu tetapi cerdas sekarang Ia bisa mewujudkan mimpinya melanjutkan Kuliah.
Malam itu hujan begitu besar, menerobos semesta hingga butir-butirnya meneteskan kerinduan. Di beranda rumah ia selalu menyaksikan hujan dengan menikmati secangkir kopi buatan tangan Ibu
“Tunggu apa lagi Ri?” tanya ibu.
“Saya menunggu pelangi Bu” Jawabnya.
Ibu hanya tersenyum. Menyaksikan Putri semata wayangnya bertumbuh Dan terus bertumbuh tanpa mengeluh, meski Ia tahu pasti Ia kesepian tanpa kehadiran Seorang ayah.
Ia pernah bertanya tetapi karena Ia anak baik dan Ia mengerti jika yang terjadi bukanlah sepenuhnya kesalahan ibu atau ayah, atau karena Tuhan. Tetapi Ia mengambil hikmat dari kejadian itu dan berharap Ia akan menjadi lebih baik agar bisa menjadi Kuat juga seperti Ibu
***
Artikel Terkait
Perempuan yang Menangis dalam Tubuh Pastor Pedro
Secangkir Kopi untuk Tuan, Puisi-puisi Risto Jomang
Hilangnya Mendung di Langit Rumah
Surat Cinta untuk Aisya
Doa Seorang Pelacur, Catatan di Ujung Pena
Gadis Kota Dingin