Oleh: RISTO JOMANG *
Cinta kita tak pernah salah Aisya. Tuhan menciptakan hati yang terbuka bagi siapa saja. Hati yang mungkin untuk dimasuki oleh siapa saja, dan memasuki ruang hati siapa saja. Tak pandang agama. Tak pandang suku. Tak pandang ras. Tak pandang fisik. Sebab cinta jauh lebih suci dari segala ukuran yang diciptakan manusia. Termasuk cinta kita, Aisya.
Malam ini adalah malam keramat itu. Malam yang pernah kuceritakan padamu dulu saat kita bertemu di pasar malam. Kala itu Ruteng, kota kecil kita, masih menyisihkan tempat untuk remaja seperti kita. Yah, paling kurang pasar malam itu saat paling lapang untuk sekian banyak jumpa kita. Aku masih ingat kata-katamu kala itu, kata-kata yang dibalut air mata. Er, tentu pilihanmu adalah apa yang terbaik untuk hidupmu dan untuk hidupku, yah hidup kita. Yah, malam ini aku akan menentukan akan bagaimana cerita kita mulai esok, Aisya. Entahkah kita masih menjalani kisah yang sama, ataukah harus dibuka kisah baru.
Tentu kamu masih ingat saat pertama kita berjumpa. Aku masih sebagai seorang seminaris kelas 2 SMA, sedangkan kamu masih sebagai murid kelas 2 di sebuah Madrasah Aliyah. Pertemuan kita bukanlah suatu kebetulan, bukan? Sebab aku punya keyakinan bahwa setiap pertemuan selalu menyimpan makna khusus di baliknya.
Awalnya kita duduk di bangku yang sama, sama-sama memandang langit Ruteng yang tampak menawan. Langit yang jernih dan taburan bintang yang memesona. Kamu tampak sangat cantik dalam balutan jilbab itu. Entah mengapa, pesonamu membiusku malam itu. Jujur, mataku selalu tertuju padamu ketika kamu tersenyum memandang langit. Malam itu, sesaat sebelum aku beranikan diri untuk berkenalan, aku sudah jatuh cinta padamu, Aisya.
“Langit Ruteng selalu mampu membuatku jatuh cinta berulang kali pada bintang-bintang nun jauh di sana,” ucapmu.
Pikirku kamu sedang berbicara padaku, ternyata kamu berbicara pada dirimu sendiri. Ketika menyadari perasaanku, sungguh aku bergulat dengan itu. Seorang seminaris jatuh cinta dengan seorang gadis muslim. Aneh rasanya. Aku berusaha menolak rasa itu. Sebab pikirku itu rasa yang tak pantas. Perasaan yang pada akhirnya melukai diriku sendiri karena rasanya tak mungkin aku bisa mengungkapkannya padamu. Namun, tak ada salahnya juga jika aku harus mencobanya kan?
“Malam Ruteng menyimpan rahasia untuk kita. Aku selalu jatuh cinta pada malam, bintang, dan rahasia,” kataku sambil menatap ke langit.
Itu langkah awal yang kupilih agar bisa berkenalan denganmu. Ternyata ampuh. Kamu menoleh ke arahku sambil tersenyum. Ahh, sungguh senyummu sangat memukau.
Artikel Terkait
Kisah Cinta Aku dan Rena
Mimpi Kenyataan yang Tertunda
Buku, Puisi-puisi Helena Deci
Perempuan yang Menangis dalam Tubuh Pastor Pedro
Secangkir Kopi untuk Tuan, Puisi-puisi Risto Jomang
Hilangnya Mendung di Langit Rumah