Oleh: RISTO JOMANG *
Perempuan itu selalu menangis. Ia menuntut sesuatu dari Pastor Pedro. Bukan lagi hanya sekadar pengakuan akan dirinya, sebagaimana tangisan-tangisannya pada waku-waktu yang lalu, melainkan sesuatu yang lain-sesuatu yang lebih.
Sudah sejak lama Pator Pedro berusaha membunuh perempuan dalam tubuhnya itu. Tapi selalu gagal. Berbagai bentuk pengolahan diri ia ikuti secara serius seperti ret-ret dan seminar tentang pengolahan kepribadian, juga selalu gagal. Magdalena, perempuan dalam tubuhnya yang ia namai saat seminari menengah dulu, tangisnya pun semakin menjadi-jadi sekarang.
“Saya Pastor. Saya laki-laki,” ucapnya selalu, berusaha menekan dan membendung tangis perempuan dalam dirinya itu.
Pastor Pedro, Imam muda yang belum mencapai setahun usia imamatnya, memang sungguh laki-laki, jika itu dilihat dari fisiknya yang tampan, bakatnya yang sangat bagus dalam olahraga sepak bola dan basket, sifat humorisnya yang memudahkan dia bergaul dengan semua lapisan umat, serta pembawaan dirinya yang sungguh memikat begitu banyak perempuan (dari remaja-remaja putri yang sedang di bangku sekolah menengah, para gadis, juga ibu-ibu yang sudah bersuami) untuk selalu merasa nyaman bersamanya – bahkan ada perempuan yang dengan terang-terangan meminta dia untuk keluar dari Pastor dan menikahinya.
Banyak gadis yang menjadikan Pastor Pedro sebagai model laki-laki yang akan mereka terima nantinya, juga tak sedikitpun para istri yang sering mengalami perlakuan keras dan kasar dari para suami berharap suami mereka bisa berubah dan menjadi seperti Pastor Pedro, homuris, penyayang, pengertian, dan lain sebagainya sebagaimana gambaran tentang dia yang ada dalam benak mereka masing-masing.
“Saya laki-laki! Saya laki-laki! Saya laki-laki!” teriaknya di hadapan cermin di kamar mandi. Ia terbangun sangat subuh, ayam Pastoran pun belum berkokok subuh itu. Mimpi buruk yang pernah ia alami dua kali saat masih Frater kembali muncul malam itu. Mimpi buruk yang sama untuk ketiga kalinya. Merasa dirinya sangat hina dan berdosa, ia berteriak sejadi-jadinya. Tak akan ada yang mendengarkan dia. Pastor Paroki bersama keryawan di Pastoran sedang berada di stasi.
Pastor Pedro memandang lekat dirinya yang tampak dalam cermin. Bukan seorang Pastor yang tampan dan penuh optimis yang ia lihat, melainkan seorang lelaki lusuh dengan wajah penuh ketakutan. Ia merasa ngeri melihat bayangannya sendiri.
“Saya laki-laki! Saya Pastor! Saya laki-laki!” Kembali ia berteriak di hadapan cermin sambil mencakar wajahnya sendiri. Tidak ada luka, hanya jejak-jejak merah karena darah membeku di wajahnya.
Artikel Terkait
Kisah Cinta Aku dan Rena
Mimpi Kenyataan yang Tertunda
Buku, Puisi-puisi Helena Deci